Entri Populer

Minggu, 21 November 2010

Sedikit tentang PRAMOEDYA dan TAN MALAKA.





Dihargai Dunia Dipenjara Negeri Sendiri


Ia bagaikan potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi dibenci di negerinya sendiri. Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang pantas menjadi calon pemenang Nobel. Ia telah menghasilkan belasan buku baik kumpulan cerpen maupun novel. Kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Ia banyak menghabiskan hidupnya di balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman pemerintahan Soekarno, maupun era pemerintahan Soeharto.

Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa.

Setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat - onderbouw Partai Komunis Indonesia - ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.

Setelah bebas pun, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.

Ia dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 oleh seorang ibu yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Pramoedya mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya teinspirasi oleh ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun’. Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan – ibunya. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.

Setelah ibunya meninggal, Pramoedya dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pramoedya masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai, namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer, lalu jurnalis.

Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda, tahun 1945 ia bergabung dengan para nasionalis, bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum ia akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).

Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa novel dan cerita singkat yang membangun reputasinya. Novel Keluarga Gerilya (1950) menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.


Cerita-cerita singkat yang dikumpulkan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950) ditulis semasa revolusi, sementara Tjerita dari Blora (1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah. Sketsa dalam Tjerita dari Djakarta (1957) menelaah ketegangan dan ketidakadilan yang Pramoedya rasakan dalam masyarakat Indonesia setelah merdeka. Dalam karya-karya awalnya ini, Pramoedya mengembangkan gaya prosa yang kaya akan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari budaya Jawa Klasik.

Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pramoedya bersimpati kepada PKI, dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.



Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.

Kemudian terjadi peristiwa rasial anti-Tionghoa semasa Indonesia telah merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10 -1960. Buku Hoakiau di Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama diterbitkan oleh Bintang Press, 1960, merupakan reaksi atas PP 10 tersebut. Peraturan Pemerintah nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat. Karena buku ini pula ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno.

Setelah keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin memintanya “mengajar” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi yang kini bukan lagi milik Baperki. Ajakan ini sempat membuatnya merasa tidak enak karena SMP saja ia tidak lulus dan belum punya pengalaman dalam mengajar. Meskipun begitu, Pramoedya mengaku menggunakan caranya sendiri. Setiap mahasiswa ia wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad ini. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang ia beri tugas itu, sehingga Perpustakaan Nasional menjadi penuh dengan mahasiswanya.



Dari para mahasiswa-mahasiswi yang sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, ia menerima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Ternyata rasialisme formal ini ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.

Di tahun 1965-an, Suharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina. Mengikuti cara Amerika, Suharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Suharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, ia ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965.

Meskipun Pramoedya tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Sukarno, kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah. Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritik cara tentara dalam menangani masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Pemerintah membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.

Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka.

Pada tahun 1972, saat di penjara, Pramoedya ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pramoedya bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya. Selama dalam penjara (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.



Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya, dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.



Karya ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.

Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1969, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan harus melapor setiap minggu kepada militer. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.

Sebenarnya semenjak tahun 1960-an, minatnya yang besar pada sejarah membuatnya suka mengumpulkan berbagai artikel atau tulisan dari berbagai koran yang kemudian diklipping-nya.



Kini belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Karena prestasinya inilah ia dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time dan telah memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilyan menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia).

Novel-novel sejarah yang dibuat oleh Pramoedya mengungkap sejarah yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, yang kebanyakan jauh dari kenyataan. Seperti Nelson Mandela, ia menolak untuk memaafkan pemerintah yang telah mengambil banyak hal dalam kehidupannya. Ia khawatir bila ia mudah memaafkan, sejarah akan segera dilupakan. Ia menekankan pentingnya mengetahui sejarah seseorang sehingga orang lain tidak mengulangi kesalahan yang sama di tahun-tahun yang akan datang.

Pramoedya juga menyukai karya sastrawan lain seperti Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. Kekagumannya pada gaya bercerita Steinbeck yang detail juga mempengaruhinya dalam menulis. Namun, Pramoedya tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, yang dianggapnya tidak manusiawi.

Selain membuat novel, ternyata Pramoedya, pengagum peraih Nobel, Gunter Grass ini, pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional.

Kini, Pram di usianya yang ke 78 tahun mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu bisa dia lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. Dia hanya ingin bersunyi-sunyi di kediamannya, beternak dan berkebun sembari mengenang masa lalunya di Blora, di daerah bagian kelompok masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis.

Dia bahkan sudah tidak menulis novel lagi dan hanya sekali-sekali menulis essai. Dalam hidupnya di tengah-tengah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan kelas, Pramoedya masih meneruskan perjuangannya menuntut tidak hanya kebebasan menulis tetapi juga kebebasan membaca. Sekarang buku-bukunya tidak lagi dibredel, dan dapat dilihat di rak-rak buku setiap toko buku dan perpustakaan di seluruh Indonesia.



Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai "Asian Heroes". ?e-ti/Atur Lorielcide Paniroy, dari berbagai sumber.



*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)....( lagi...gwe kutip dari tokoh indonesia dotcom )....theklinx.blogspot.com


Hampir sama seperti tokoh-tokoh lainnya, Tan Malaka adalah sosok pahlawan kesepian hingga di akhir hayatnya. Ia terus berjuang merealisasikan mimpi-mimpi kemerdekaan Indonesia yang ada di benaknya. Sebelum pembentukan konsep Indonesia, ia justru jauh lebih dulu memiliki ide republic ini yang pernah ia tawarkan dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia. Saya benar-benar dibuat terkagum-kagum oleh laki-laki minang ini. Kalau boleh saya mengatakan, Tan Malaka adalah orang-orang yang benar2 “gila”! Luar bisa. Seorang yang sangat cerdas dan idealis, namun mampu begerak menuntaskan idealismenya hingga wilayah praksis. Sebelumnya, saya hanya mengetahui tentang sebagian tentang dirinya dari Madilog dan buku lain, yang belum begitu komprehensif. Saya kemudian mendapatkan gambaran yang agak utuh ketika Majalah Tempo Khusus Kemerdekaan yang meskipun tidak setebal buku lainnya, namun cukup gamblang menceritakan dirinya dari berbagai sudut pandang. Baik menurut beberapa tokoh, saksi-saksi, maupun berdasarkan beberapa buku yang ditulisnya ; Madilog, Gerpolek, Dari Penjara ke Penjara, Actie Massa, Menuju Indonesia Merdeka, dll. Terutama penjelasan dari Harry A. Poeze yang sejak tahun ‘70an telah secara fokus menelitinya. Semuanya dibahas sejak ia lahir hingga tewas pada agresi pada tahun 1949.

Semangat dan impian Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka untuk menciptakan Indonesia seratus persen, bermartabat, dan bukan karena pemberian hadiah dari Belanda, telah membawa ia pada pengembaraan panjang. Dengan kecerdikannya ia dapat luntang-lantung ke berbagai negara belahan dunia; Harleem (Belanda), Berlin, Moskow, Kanton (Cina), Rusia, Singapura,Filipina, Thailand, Burma, Malaysia, Hongkong, Amoy, dll dengan berganti-ganti nama dan bermacam profesi dalam masa penyamarannya. Entah beberapa kali pula ia ditangkap dan diasingkan, namun tekadnya tak pernah surut selangkahpun. Perjuangan telah membuatnya menjadi seseorang yang dikatakan “tak normal”. Dalam artian, jauh dari keluarga, kehidupan yang tak layak, dan bahkan dalam urusan cinta. Tapi kehilangan segala yang harus dimilikinya tak menjadi soal baginya. Segalanya terkalahkan oleh aktifitasnya untuk untuk memperjuangkan tanah air.

Hal yang menjadikan ia berbeda dengan tokoh-tokoh lain sezamannya adalah sikap teguh pendirian dalam memegang prinsip. Bila Sutan Syahrir memilih jalan diplomasi, atau sokarno-Hatta yang bersikap lunak terhadap Belanda, maka ia bersama jendral Soedirman lebih memilih jalan revolusi secara radikal dengan melakukan perlawanan gerilya, nasionalisasi aset dan pengambilalihan kekuasaan Belanda. Baginya tak ada kompromi dalam hal kemerdekaan. Ia menganalogikan bahwa tak akan ada tuan rumah yang mau berunding dengan maling di rumah sendiri.

Keteguhan ini pula yang akhirnya membuat ia keluar dari jabatan pemimpin Komintern se Asia Pasifik serta Partai Komunis Indonesia karena menganggap organisasi dan partai tersebut tak sejalan lagi dengan apa yang diharapkannya, khususnya ketika ia memutuskan untuk bekerja sama dengan Serikat Islam, mendukung Pan-Islamisme. Sepeninggalnya dari dua organisasi tersebut, lalu ia membuat PARI (partai Republik Indonesia), serta Partai Murba yang menjadi kelanjutannya setelah PARI mati.

Banyak mozaik sejarah hidupnya yang membuat saya terharu. Misal, ketika di Bayah, ia melamar bekerja sebagai kerani yang tak hanya menjalankan tugas menjadi juru tulis di perusahaan, namun ia juga mempengaruhi pihak perusahaan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan romusha. Ia kerap membelikan makanan kepada romusha dengan gajinya sendiri.

Selain itu, ketika di Yogyakarta pun ia pernah mendirikan sekolah rakyat bagi pemimpin revolusioner dengan tujuan mendidik pribumi yang sering dibodohi oleh penjajah dengan kontrak-kontrak kerja yang tak dipahami. Sayang, ketika sekolah itu berkembang dan diikuti oleh beberapa daerah di Jawa, Tan tak dapat menyaksikannya karena harus kembali malang melintang melanjutkan misinya. Begitu juga dengan kemerdekaan negara republik Indonesia yang telah lama ia konsep, namun ironis, ketika proklamasi ia tidak ikut campur serta menyaksikannya karena tidak mengetahui. Apalagi soal cinta? Jangan ditanya. Ia selalu ditolak oleh pujaan hatinya, Syarifah Nawawi, karena dianggap orang yang aneh. Hingga tamat riwayat pun ia tetap menjadi lelaki yang sendirian.

Sesuatu yang dapat digarisbawahi dari seorang Tan Malaka adalah bahwa seorang pejuang tak hanya mampu berpikir orisinil. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana ide-ide orisinil tersebut dapat dipertahankan. Perkara mempertahankan idealisme bukanlah hal yang gampang, apalagi mewujudkannya. Sejarah telah membuktikannya. Betapa banyak aktivis mahasiswa yang akhirnya mundur atau menghianati perjuangannya ketika berhadapan dengan kemapanan. Inipula yang terkadang membayangi saya seandainya suatu saat menjadi bagian dari penegak hukum. Jangankan berbicara tentang masa depan, masa sekarangpun yang seharusnya diwarnai dengan aksi-aksi heroik layaknya Tan Malaka ketika dulu belum mampu untuk dijejaki. Mungkin memang benar apa yang dikatakan Deliar Noer dalam biografi Mohammad Hatta bahwa faktor yang sangat mempengaruhi karakter pemuda-pemuda pada zaman pra kemerdekaan adalah salah satunya gejolak situasi politik dan ekonomi, ketertindasan, penjajahan yang secara langsung dirasakan.Tapi apakah saat ini penjajahan itu tak ada? Atau mungkin kita saja yang tak mengenali penjajahan gaya baru itu?

Terakhir, saya tutup tulisan ini dengan penghormatan tinggi kepada Tan Malaka. Sayang, saya tidak dapat menyimak riwayatnya sejak di bangku sekolah dulu. Indonesia telah menghilangkannya dari sejarah mungkin sejak pembersihan paham-paham komunis,meskipun ia telah diangkat menjadi pahlawan nasional pada tahun 1963. Seandainya sejak di bangku sekolah telah dikenalkan sejarah ini, mungkin ketika orang bertanya “siapa bapak Republik Indonesia??”, saya pasti akan lantang menjawab : TAN MALAKA!...( gwe kutip dari blog syiila_akai )....theklinx.blogspot.com

1 komentar:

  1. benar kata orang bijak...belajar sejarah bukan untuk pintar,tapi untuk lebih bijaksana...setujuuu gan...!!

    BalasHapus